Aku masih mengagumi sosoknya, mengagumi senyumnya, dan... sikap tidak ramahnya.
Dia.
Tapi entalah, untuk sekarang ini aku masih tidak sanggup menikmati sosoknya, barang sekedar memandang wajahnya...
Aku takut. Rasa itu akan hadir dan semakin memasuki relungku.
Mengingatnya,
membuat hatiku cukup sesak, namun, selalu terselip sedikit rasa untuk
tetap bertahan dan... menunggu. Ya, memang sedikit. Tapi, yang sedikit
itulah yang selalu memenangkan pertempuran di dalam hatiku. Bertahan
atau Pergi.
Bertahan,
pilihan itu seperti rumahku. Entah sejauh mana pikiranku melalang
buana, pastilah kembali pada satu keyakinan, Bertahan. Aku bahkan tidak
tahu apa yang harus aku pertahankan, aku bahkan tak pernah membangun
apapun. Kecuali, perasaan yang tak berkesudahan. Perasaan yang entah
mengapa selalu menghantuiku dengan berbagai rasa; bahagia, gelisah,
sedih, penasaran, cemburu, apalah. Seperti nano-nano. Aku letih, tapi tak ingin berhenti.
Dua Hari Sebelum Hari H, Pukul 17:00 Waktu Kantor.
Sebut
saja pria itu, Danu. Aku mengenalnya sejak 5 tahun lalu dan sejak 5
tahun itulah, aku selalu menikmati senyumnya. Apalagi saat senja seperti
ini. Dia duduk mematung di depan laptopnya, kulihat jari-jarinya
sibuk beradu dengan keyboard sejak jam makan siang tadi, tanpa
berhenti. Inilah salah satu hal yang membuatku kagum, semangat dan rasa
tanggungjawab yang tinggi. Cahaya jingga matahari menyelinap di antara
jendela kantor kami, membungkus siluet wajah maskulin Danu dengan indah dan hangat. Namun, hangatnya suasana tak urung membuat sikap Danu hangat padaku.
"Danu? Kamu ndak pulang?"
kataku sembari menyembul dari bilik kerjaku dan menoleh ke arah
Danu (walau sedari tadi aku memang tidak pernah lepas memandanginya.)
"Nanti."
jawabnya singkat. Aku hanya diam dan tersenyum tipis, aku tidak kaget.
Setiap hari, memang itulah jawaban yang aku dapat. Aku harusnya tahu,
tapi entalah, aku selalu ingin menanyakannya.
"Oh, begitu toh. Aku
balik dulu ya, Nu. Assalamualaikum." timpalku sebelum membuka daun
pintu dan melangkah keluar ruangan. Ruangan ini sudah sangat sepi, hanya
aku dan Danu. Aku baru tersadar bahwa pegawai lain memang sudah pulang
sejak pukul 16:30 tadi, jam kantor memang berakhir pada waktu itu. Aku
ingin menyisakan 30 menit dari 24 jam yang aku punya khusus untuk
menikmati senyumnya yang dibungkus cahaya jingga matahari. Senyum
favoritku, setelah senyuman mama. Danu tetap bergeming, matanya tak
beralih dari laptop di depannya. Aku tersenyum kembali lalu membuka pintu dan melangkah meninggalkan ruangan itu.
Jingga, tidakkah kau akan berhenti untuk mendinginkanku?
Jingga, tidakkah kau akan segera mengahapus jarak ini?
Jingga, tidakkah kau akan berbicara padaku?
Jingga... beri tahu aku!
Jingga, katakan, bahwa aku memang harus pergi.
Masih Dua Hari Sebelum Hari H, Pukul 20:00.
Aku
menghempaskan tubuhku ke kasur dengan segenap tenaga yang masih aku
punyai. Jakarta dan macetnya, bagaikan hujan dan mendung. Kesatuan yang
tak terpisahkan. Tiga jam duduk mematung di kursi kemudi bukanlah hal
yang mengasyikan. Dunia ini benar-benar gila, pikirku. Jalanan yang
seharusnya bisa aku tempuh dengan memakan waktu 45 menit harus aku
habiskan selama 3 jam! Gila!
Seperti teringat akan sesuatu, tubuhku mendadak bangkit dari tempat tidur dan meraih sesuatu dari meja riasku.
Kartu Undangan. Itu undangan pernikahan Danu dan Sarah. Aku
menimbang-nimbang undangan itu, tidak tahu juga apa tujuannya. Mataku
masih saja terpaku pada title undangan berwarna cokelat dan bermotif batik itu, sederhana namun mengena.
Will Married....
Danu Surya Prasetyo R.
&
El-Sarah Aninditya Darmawan
Andai saja, nama wanita yang akan mendampingi Danu itu Aulia Indriani Rahman, namaku. Hanya sekedar 'ANDAI'lho ya...
Aul,
begitu Danu dulu memanggilku. Aku masih teringat bagaimana dahulu aku
untuk pertama kalinya jatuh hati pada senyum itu se-paket dengan si
empunya.
"Hai. Anak baru, ya? Sama lho! Aku
baru dua minggu di sini. Namamu siapa?" sapanya suatu sore yang hangat.
Cahaya jingga menyelinap di antara renyahnya percakapan kami.
"Hai. Oh begitu, aku Aulia, kamu?" kataku ramah sambil menjabat tangannya.
"Aku Danu, Wah, aku panggil kamu Aul saja ya? Gampang diucapin soalnya..." lalu senyum ramah khas Danu pun terurai.
Sejak
saat itu kami akrab. Aku sangat dekat dengan Danu, kami seperti
sahabat. Danu orang yang baik, cerdas, ramah, bertanggungjawab, dan
berwibawa. Itulah yang membuat sosoknya sangat berkharisma. Favoritku.
Suasana
hangat itu aku hancurkan. Tepatnya, 10 bulan yang lalu. Di sebuah cafe
di daerah Kemang, dengan segala keberanian yang aku kumpulkan selama 4
tahun mengenal Danu, dengan seluruh perasaan yang tersimpan rapi, di
sini, di hatiku. Aku mengungkapkannya pada Danu... di tengah gerimis dan
dua cangkir Teh Putih tanpa Kefein.
"Danu... maaf, aku terlalu lancang. Tapi, aku ingin jujur padamu. Aku sayang kamu, Nu." Kataku tercekat.
"Aul,
kamu ini apasih? Jelaslah kamu menyayangiku. Bukankah kita sahabat dan
sebagai sahabat sudah seharusnya kita saling menyayangi? Kamu ini lucu
deh!" Seringainya. Danu masih mengaduk-aduk teh di hadapannya.
"Nu,
ini beda. It's different! I feel more than just a friend. firstly, I
try my best to make sure that we're just a friend, a bestfriend. but... i
can't! the fact is, I love you." kataku sekuat tenaga agar tidak
menangis. Danu berhenti mengaduk teh-nya. Kami hanya diam dan membisu
untuk beberapa saat. Sampai akhirnya Danu angkat bicara dan memecah
keheningan,
"Aulia, maaf. Tapi aku ndak bisa. Aku sudah memiliki calon isteri. Dia wanita pilihan bunda. Aku yakin, pilihan bunda adalah yang terbaik untukku. Aku ndak mau
mengecewakan bunda. Maafkan aku, Aulia. Aku tidak bisa... Walaupun aku
mencintai wanita lain, bukan wanita pilihan bunda, aku akan tetap
menuruti kata bunda untuk memilih pilihannya. Aku menyayangimu Aulia,
sebagai adikku, sebagai sahabatku..." Seiring berakhirnya penuturan
Danu, butiran-butiran kristal mengaliri pipiku. Aku berusaha untuk tidak
terisak dan menarik perhatian orang-orang di sekitar kami. Dengan berat
aku berusaha tersenyum dan menenangkan Danu.
"Ndak apa-apa, Nu.
Aku nggak akan membuat kamu harus memilih, aku nggak ingin memaksamu
dan yang akan mendurhakai bunda. Aku juga yakin, wanita pilihan bundamu
adalah yang terbaik. Aku duluan ya, Nu. Assalamualaikum." kataku sambil
berlalu. Dengan mata sembab aku menerobos jalanan malam Jakarta yang
mulai tampak lengang.
Danu, Jinggaku...
Akan aku biasakan, bahwa wanita itulah cakrawalamu.
Tempatmu berlabuh ketika sang petang sudi bertamu.
Aku
masih menatap undangan pernikahan Danu dan Sarah. Lubang yang menganga
terasa seperti habis disiram air cuka. Aku ingin menangis
sejadi-jadinya, namun seperti tertahan di tenggorokan. Aku hanya
melemparkan senyum getirku pada undangan cokelat itu. Sakit. Ku yakinkan
sekali lagi, bahwa Danu akan bahagia dengan wanita itu. Wanita yang
lebih segala-galanya dibandingkan seorang Aulia. Aku tersenyum lagi dan
akhirnya, terlelap.
Sehari Sebelum Hari H, pukul 13:00 Waktu Kantor.
Danu
bersiap pulang. Kali ini berbeda dari biasanya, dia pulang lebih awal
untuk persiapan pesta pernikahan esok hari atas perintah bundanya. Danu
memang sangat menyayangi bundanya dan selalu patuh atas setiap perintah
bundanya. Salah satu motto hidupnya yang pernah disampaikannya suatu
ketika:
"Jangan sampai cintamu untuk anak-isterimu akan menandingi rasa cintamu pada orangtuamu. Seimbangkanlah..."
Aku
memberanikan diri untuk berbicara pada Danu, hanya lima menit. Aku
telah memutuskan untuk mengikhlaskannya. Aku merestuinya. Dengan segenap
keberanian yang aku punya, aku menghampiri bilik kerja Danu, di samping
jendela.
"Danu..." sapaku lirih. Dia hanya mendongak sembari mengisyaratkan 'Ada apa?'
"Danu, aku ingin bicara... Please?" kali ini suaraku agak sedikit parau.
"Baiklah,
dimana? di pantry?" Pertama kali sejak 10 bulan lalu, Danu berbicara
padaku lebih dari satu kata. Namun, senyum khasnya masih belum aku temui
di sana.
"Oke..."
Suasana
di pantry cukup sepi. Hanya aku dan Danu. Jam makan siang baru saja
berlalu jadi pantry di tempat kerjaku sudah mulai sepi kembali. Aku
membuatkannya teh putih, favoritnya.
"Nggak
perlu minum, Aulia. Aku buru-buru. Katamu ingin bicara?" Katanya agak
panjang. Menghentikan kegiatanku yang hendak membuatkannya minuman.
"Oh,
maaf... Oke, baiklah... Danu, aku meminta maaf atas perasaanku yang
membuat semuanya seperti ini. Aku meminta maaf telah menghancurkan
persahabatan kita. Aku meminta maaf atas sikapku yang samasekali tidak
dewasa. Aku tidak cukup menerima ini semua, maafkan aku Danu. Tapi,
bisakah kamu berhenti untuk mendinginkanku? berhenti untuk menganggap
aku tak ada? Danu, kita mulai semuanya. Dari awal, dari ketika aku dan
kamu sahabat. Jujur, aku tak sanggup Danu. Maaf, aku banyak menuntut..."
Kataku terisak. Bisa aku rasakan butiran-butiran hangat menelusuri
pipiku. Tubuhku masih bergetar. Danu terdiam. Sampai akhirnya, dia
tersenyum. Senyum khasnya. Kembali! Danu, kamu tahu? aku hampir gila
menanti-nanti kapan kamu akan tersenyum seperti itu.
"Aul,
jangan menangis. Aku yang harusnya meminta maaf, aku menghindarimu,
menghindari kenyataan. Aku hanya tidak tahu harus bersikap bagaimana,
aku hanya takut jatuh hati. Aku hanya..." timpalnya membuatku sedikit
tercekat. Aku berusaha menguasai diriku.
"Sudalah,
Nu... Biarkan ini semua terhapus oleh hembusan waktu. Kamu harus
siap-siap, besok adalah hari pernikahanmu. Hari bersejarah! Sudah,
pulang sana. Bunda pasti mencemaskanmu.
"Terimakasih,
Aul. Kamu sahabat terbaikku. Maaf Aul, sepertinya, aku memang harus
pamit sekarang. Aku pulang ya, Assalamualaikum." timpalnya sambil
menjapat tanganku dan tak lama kemudian aku melihatnya berlalu.
Hari H, Pukul 10:00 Waktu Resepsi.
Danu mengenakan baju adat Jawa terlihat gagah dan semakin pas dengan hadirnya blangkon yang bertengger di kepalanya. Sepertinya bunda Danu memang sangat menunggu-nunggu moment ini.
Yang aku dengar, segala persiapan diatasi oleh bunda Danu sendiri.
Kalau hasilnya dahsyat seperti ini, pastilah beliau sungguh-sungguh. Aku
juga melihat senyum bunda Danu merekah. Bunda tampak sangat bahagia,
begitupun Danu. Dan... Wanita di samping Danu itu, aku yakin pasti
itulah Sarah. Perempuan cantik dan berparas kalem itu tampil dengan
kebaya yang memiliki motif senada dengan punya Danu. Mereka memang...
serasi. Aku turut bahagia. Selamat Danu dan Sarah. Semoga kalian dapat
saling berbagi bahagia, selalu.
Pergi
Aku memilih pergi
Dan menghempaskan seluruh perasaan cemburuku ke udara
Dan membiarkan angin menerbangkannya ke awang-awang
Jingga...
Kamu tahu? Aku masih cemburu.
Sarah, Bolehkah aku mencintai suamimu?
0 komentar:
Posting Komentar