Sarah, Bolehkah Aku Mencintai Suamimu?

Kamis, 29 Maret 2012


Aku masih mengagumi sosoknya, mengagumi senyumnya, dan... sikap tidak ramahnya.

Dia.

Tapi entalah, untuk sekarang ini aku masih tidak sanggup menikmati sosoknya, barang sekedar memandang wajahnya...
Aku takut. Rasa itu akan hadir dan semakin memasuki relungku.


Mengingatnya, membuat hatiku cukup sesak, namun, selalu terselip sedikit rasa untuk tetap bertahan dan... menunggu. Ya, memang sedikit. Tapi, yang sedikit itulah yang selalu memenangkan pertempuran di dalam hatiku. Bertahan atau Pergi. 
Bertahan, pilihan itu seperti rumahku. Entah sejauh mana pikiranku melalang buana, pastilah kembali pada satu keyakinan, Bertahan. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku pertahankan, aku bahkan tak pernah membangun apapun. Kecuali, perasaan yang tak berkesudahan. Perasaan yang entah mengapa selalu menghantuiku dengan berbagai rasa; bahagia, gelisah, sedih, penasaran, cemburu, apalah. Seperti nano-nano. Aku letih, tapi tak ingin berhenti.



Dua Hari Sebelum Hari H, Pukul 17:00 Waktu Kantor.

Sebut saja pria itu, Danu. Aku mengenalnya sejak 5 tahun lalu dan sejak 5 tahun itulah, aku selalu menikmati senyumnya. Apalagi saat senja seperti ini. Dia duduk mematung di depan laptopnya, kulihat jari-jarinya sibuk beradu dengan keyboard sejak jam makan siang tadi, tanpa berhenti. Inilah salah satu hal yang membuatku kagum, semangat dan rasa tanggungjawab yang tinggi. Cahaya jingga matahari menyelinap di antara jendela kantor kami, membungkus siluet wajah maskulin Danu dengan indah dan hangat. Namun, hangatnya suasana tak urung membuat sikap Danu hangat padaku.

"Danu? Kamu ndak  pulang?" kataku sembari menyembul dari bilik kerjaku dan menoleh ke arah Danu (walau sedari tadi aku memang tidak pernah lepas memandanginya.)

"Nanti." jawabnya singkat. Aku hanya diam dan tersenyum tipis, aku tidak kaget. Setiap hari, memang itulah jawaban yang aku dapat. Aku harusnya tahu, tapi entalah, aku selalu ingin menanyakannya. 

"Oh, begitu toh.  Aku balik dulu ya, Nu. Assalamualaikum." timpalku sebelum membuka daun pintu dan melangkah keluar ruangan. Ruangan ini sudah sangat sepi, hanya aku dan Danu. Aku baru tersadar bahwa pegawai lain memang sudah pulang sejak pukul 16:30 tadi, jam kantor memang berakhir pada waktu itu. Aku ingin menyisakan 30 menit dari 24 jam yang aku punya khusus untuk menikmati senyumnya yang dibungkus cahaya jingga matahari. Senyum favoritku, setelah senyuman mama. Danu tetap bergeming, matanya tak beralih dari laptop  di depannya. Aku tersenyum kembali lalu membuka pintu dan melangkah meninggalkan ruangan itu. 

Jingga, tidakkah kau akan berhenti untuk mendinginkanku?
Jingga, tidakkah kau akan segera mengahapus jarak ini?
Jingga, tidakkah kau akan berbicara padaku?
Jingga... beri tahu aku!
Jingga, katakan, bahwa aku memang harus pergi.

Masih Dua Hari Sebelum Hari H, Pukul 20:00.

Aku menghempaskan tubuhku ke kasur dengan segenap tenaga yang masih aku punyai. Jakarta dan macetnya, bagaikan hujan dan mendung. Kesatuan yang tak terpisahkan. Tiga jam duduk mematung di kursi kemudi bukanlah hal yang mengasyikan. Dunia ini benar-benar gila, pikirku. Jalanan yang seharusnya bisa aku tempuh dengan memakan waktu 45 menit harus aku habiskan selama 3 jam! Gila! 

Seperti teringat akan sesuatu, tubuhku mendadak bangkit dari tempat tidur dan meraih sesuatu dari meja riasku. Kartu Undangan. Itu undangan pernikahan Danu dan Sarah. Aku menimbang-nimbang undangan itu, tidak tahu juga apa tujuannya. Mataku masih saja terpaku pada title  undangan berwarna cokelat dan bermotif batik itu, sederhana namun mengena. 


Will Married....
Danu Surya Prasetyo R.

     &

El-Sarah  Aninditya Darmawan


Andai saja, nama wanita yang akan mendampingi Danu itu Aulia Indriani Rahman, namaku. Hanya sekedar 'ANDAI'lho ya... 
Aul, begitu Danu dulu memanggilku. Aku masih teringat bagaimana dahulu aku untuk pertama kalinya jatuh hati pada senyum itu se-paket dengan si empunya.

"Hai. Anak baru, ya? Sama lho! Aku baru dua minggu di sini. Namamu siapa?" sapanya suatu sore yang hangat. Cahaya jingga menyelinap di antara renyahnya percakapan kami.

"Hai. Oh begitu, aku Aulia, kamu?" kataku ramah sambil menjabat tangannya. 

"Aku Danu, Wah, aku panggil kamu Aul saja ya? Gampang diucapin soalnya..." lalu senyum ramah khas Danu pun terurai.

Sejak saat itu kami akrab. Aku sangat dekat dengan Danu, kami seperti sahabat. Danu orang yang baik, cerdas, ramah, bertanggungjawab, dan berwibawa. Itulah yang membuat sosoknya sangat berkharisma. Favoritku. 

Suasana hangat itu aku hancurkan. Tepatnya, 10 bulan yang lalu. Di sebuah cafe di daerah Kemang, dengan segala keberanian yang aku kumpulkan selama 4 tahun mengenal Danu, dengan seluruh perasaan yang tersimpan rapi, di sini, di hatiku. Aku mengungkapkannya pada Danu... di tengah gerimis dan dua cangkir Teh Putih tanpa Kefein. 

"Danu... maaf, aku terlalu lancang. Tapi, aku ingin jujur padamu. Aku sayang kamu, Nu." Kataku tercekat.

"Aul, kamu ini apasih? Jelaslah kamu menyayangiku. Bukankah kita sahabat dan sebagai sahabat sudah seharusnya kita saling menyayangi? Kamu ini lucu deh!" Seringainya. Danu masih mengaduk-aduk teh di hadapannya. 

"Nu, ini beda. It's different! I feel more than just a friend. firstly, I try my best to make sure that we're just a friend, a bestfriend. but... i can't! the fact is, I love you." kataku sekuat tenaga agar tidak menangis. Danu berhenti mengaduk teh-nya. Kami hanya diam dan membisu untuk beberapa saat. Sampai akhirnya Danu angkat bicara dan memecah keheningan,

"Aulia, maaf. Tapi aku ndak  bisa. Aku sudah memiliki calon isteri. Dia wanita pilihan bunda. Aku yakin, pilihan bunda adalah yang terbaik untukku. Aku ndak  mau mengecewakan bunda. Maafkan aku, Aulia. Aku tidak bisa... Walaupun aku mencintai wanita lain, bukan wanita pilihan bunda, aku akan tetap menuruti kata bunda untuk memilih pilihannya. Aku menyayangimu Aulia, sebagai adikku, sebagai sahabatku..." Seiring berakhirnya penuturan Danu, butiran-butiran kristal mengaliri pipiku. Aku berusaha untuk tidak terisak dan menarik perhatian orang-orang di sekitar kami. Dengan berat aku berusaha tersenyum dan menenangkan Danu.

"Ndak apa-apa, Nu. Aku nggak akan membuat kamu harus memilih, aku nggak ingin memaksamu dan yang akan mendurhakai bunda. Aku juga yakin, wanita pilihan bundamu adalah yang terbaik. Aku duluan ya, Nu. Assalamualaikum." kataku sambil berlalu. Dengan mata sembab aku menerobos jalanan malam Jakarta yang mulai tampak lengang. 

Danu, Jinggaku...
Akan aku biasakan, bahwa wanita itulah cakrawalamu.
Tempatmu berlabuh ketika sang petang sudi bertamu.

Aku masih menatap undangan pernikahan Danu dan Sarah. Lubang yang menganga terasa seperti habis disiram air cuka. Aku ingin menangis sejadi-jadinya, namun seperti tertahan di tenggorokan. Aku hanya melemparkan senyum getirku pada undangan cokelat itu. Sakit. Ku yakinkan sekali lagi, bahwa Danu akan bahagia dengan wanita itu. Wanita yang lebih segala-galanya dibandingkan seorang Aulia. Aku tersenyum lagi dan akhirnya, terlelap.


Sehari Sebelum Hari H, pukul 13:00 Waktu Kantor.

Danu bersiap pulang. Kali ini berbeda dari biasanya, dia pulang lebih awal untuk persiapan pesta pernikahan esok hari atas perintah bundanya. Danu memang sangat menyayangi bundanya dan selalu patuh atas setiap perintah bundanya. Salah satu motto hidupnya yang pernah disampaikannya suatu ketika: 

"Jangan sampai cintamu untuk anak-isterimu akan menandingi rasa cintamu pada orangtuamu. Seimbangkanlah..." 

Aku memberanikan diri untuk berbicara pada Danu, hanya lima menit. Aku telah memutuskan untuk mengikhlaskannya. Aku merestuinya. Dengan segenap keberanian yang aku punya, aku menghampiri bilik kerja Danu, di samping jendela.

"Danu..." sapaku lirih. Dia hanya mendongak sembari mengisyaratkan 'Ada apa?' 

"Danu, aku ingin bicara... Please?"  kali ini suaraku agak sedikit parau.

"Baiklah, dimana? di pantry?" Pertama kali sejak 10 bulan lalu, Danu berbicara padaku lebih dari satu kata. Namun, senyum khasnya masih belum aku temui di sana.

"Oke..."


Suasana di pantry cukup sepi. Hanya aku dan Danu. Jam makan siang baru saja berlalu jadi pantry di tempat kerjaku sudah mulai sepi kembali. Aku membuatkannya teh putih, favoritnya. 

"Nggak perlu minum, Aulia. Aku buru-buru. Katamu ingin bicara?" Katanya agak panjang. Menghentikan kegiatanku yang hendak membuatkannya minuman.

"Oh, maaf... Oke, baiklah... Danu, aku meminta maaf atas perasaanku yang membuat semuanya seperti ini. Aku meminta maaf telah menghancurkan persahabatan kita. Aku meminta maaf atas sikapku yang samasekali tidak dewasa. Aku tidak cukup menerima ini semua, maafkan aku Danu. Tapi, bisakah kamu berhenti untuk mendinginkanku? berhenti untuk menganggap aku tak ada? Danu, kita mulai semuanya. Dari awal, dari ketika aku dan kamu sahabat. Jujur, aku tak sanggup Danu. Maaf, aku banyak menuntut..." Kataku terisak. Bisa aku rasakan butiran-butiran hangat menelusuri pipiku. Tubuhku masih bergetar. Danu terdiam. Sampai akhirnya, dia tersenyum. Senyum khasnya. Kembali! Danu, kamu tahu? aku hampir gila menanti-nanti kapan kamu akan tersenyum seperti itu. 

"Aul, jangan menangis. Aku yang harusnya meminta maaf, aku menghindarimu, menghindari kenyataan. Aku hanya tidak tahu harus bersikap bagaimana, aku hanya takut jatuh hati. Aku hanya..." timpalnya membuatku sedikit tercekat. Aku berusaha menguasai diriku.

"Sudalah, Nu... Biarkan ini semua terhapus oleh hembusan waktu. Kamu harus siap-siap, besok adalah hari pernikahanmu. Hari bersejarah! Sudah, pulang sana. Bunda pasti mencemaskanmu.

"Terimakasih, Aul. Kamu sahabat terbaikku. Maaf Aul, sepertinya, aku memang harus pamit sekarang. Aku pulang ya, Assalamualaikum." timpalnya sambil menjapat tanganku dan tak lama kemudian aku melihatnya berlalu. 


Hari H, Pukul 10:00 Waktu Resepsi.


Danu mengenakan baju adat Jawa terlihat gagah dan semakin pas  dengan hadirnya blangkon yang bertengger di kepalanya. Sepertinya bunda Danu memang sangat menunggu-nunggu moment ini. Yang aku dengar, segala persiapan diatasi oleh bunda Danu sendiri. Kalau hasilnya dahsyat seperti ini, pastilah beliau sungguh-sungguh. Aku juga melihat senyum bunda Danu merekah. Bunda tampak sangat bahagia, begitupun Danu. Dan... Wanita di samping Danu itu, aku yakin pasti itulah Sarah. Perempuan cantik dan berparas kalem itu tampil dengan kebaya yang memiliki motif senada dengan punya Danu. Mereka memang... serasi. Aku turut bahagia. Selamat Danu dan Sarah. Semoga kalian dapat saling berbagi bahagia, selalu.


Pergi
Aku memilih pergi
Dan menghempaskan seluruh perasaan cemburuku ke udara
Dan membiarkan angin menerbangkannya ke awang-awang
Jingga...
Kamu tahu? Aku masih cemburu.





Sarah, Bolehkah aku mencintai suamimu?

0 komentar:

Posting Komentar