Makan Malam Bersama Bapak

Minggu, 01 April 2012

Kemang, 18 Januari 2012

Gemerlap lampu-lampu lalu lintas silaukan mata beradu dengan deru asap kendaraan pekatkan udara.Tak mau ketinggalan, debu-debu menari-nari anggun seiring alunan gemuruh knalpot kendaraan, cukup sesakan dada. Komposisi yang tepat, batinku. Fenomena yang sudah biasa ketika petang bertamu di suatu perempatan di daerah Kemang hari ini.
                Tak kunjung surutkan semangat anak-anak itu, anak-anak dengan berbekal tutup botol coca-cola yang disusun menjadi suatu alat musik, entah apa namanya. Kalau di daerahku, di tanah Jawa, mereka menyebutnya kempyeng. Anak-anak itu terus melantunkan lagu-lagu dangdut yang lagi nge-hits.
“Jatuh bangun aku, mengejarmu… Namun dirimu tak mau mengerti,” dendangnya merdu, tak lama kemudian sebuah tangan menyembul dari balik jendela hitam sebuah mobil sambil menjatuhkan beberapa buah uang receh.
“Makasih, Om…” celoteh anak itu, kali ini senyum tulus menyertainya. Dia berjalan menuju mobil lain, dengan lagu yang sama dan gaya yang sama. Begitu seterusnya.
                Pemandangan itu kerap menemaniku setiap petang menjelang. Tepatnya, sejak 6 bulan yang lalu. Menjajakan Koran dan air mineral, itu pekerjaan wajibku selain belajar di sekolah. Pukul 14:30, kegiatan belajar mengajar di sekolahku berakhir. Aku tak langsung pulang ke rumah, kukayuh sepeda pemberian bapak saat aku berusia 8 tahun dengan semangat membara menuju suatu perempatan di daerah Kemang. Mulailah aku menjajakan daganganku dengan luwes. Aku mencintai pekerjaanku sekarang. Semua berawal dari kegemaranku membaca. Aku bosan dengan komik-komik yang diberikan bapak di rumah. Ceritanya mudah sekali ditebak, tidak realita. Hal-hal seperti itu hanya akan memenuhi anganku dengan imajinasi-imajinasi tak nyata. Sampai akhirnya, pada suatu pagi…
                “Koraaan!!!” bisa aku ketahui itu suara mas Koran langganan kantor bapak. Selang beberapa detik, Buk! Dentuman keras terjadi antara koran dan lantai teras rumahku. Berbekal ke-isengan aku memungut Koran yang tergeletak di lantai teras lalu dengan cermat aku membaca halaman demi halaman, mengasyikan! Sejak saat itulah aku gemar membaca Koran. Selain informasi yang disuguhkan banyak--termasuk informasi tentang KKN dan Korupsi yang membabi buta di Negara kita--, aku juga mendapat berbagai macam wawasan. Karena merasa tak sungkan mengambil Koran milik bapak setiap hari aku akhirnya memutuskan untuk bisa membaca Koran setiap hari tanpa harus meminta ibu membelikan atau mengambil Koran milik bapak. Akhirnya, aku putuskan untuk menjajakan Koran sepulang sekolah. Labanya cukup untuk membeli makan siang dan makan malam, lumayan kan?
                Aku tersadar bahwa nasi goreng di piringku sudah mulai tandas. Nasi goreng cak Ji, itulah menu makan malamku setiap harinya. Nasi goreng paling enak yang pernah kutemui. Ah, kenyang… batinku.
“Gimana, Le? Enak toh nasi gorengnya?” cetus cak Ji membuyarkan awing-awangku.
Nggeh, Cak! Alhamdulillah wareg.” sahutku dengan senyum merekah yang tak aku buat-buat. Cak Ji, pengganti bapak ketika aku dijalanan. Bapak, mengingatnya membuat aku jadi memikirkannya sekarang. Bapak yang sekarang mulai sibuk dengan hari-harinya di kantor, sibuk ber-blackberry dengan teman-teman kantornya. Aku bingung dengan bapak, bukankah seharian penuh waktunya sudah dihabiskan di kantor dengan teman-temannya? Dan, waktu di rumah semata-mata untukku dan ibu? Ah, bapak… aku rindu bapak. Sekalipun, cak Ji sudah merawatku dan membelejariku banyak hal, tetap saja sosok bapak di rumah tak akan tergantikan untuk selalu menjadi panutanku, untuk selalu menjadi imam di keluarga kecil kami.
Kata yang selalu aku ingat dari bapak pada suatu malam, “Le, kamu harus jadi orang jujur di segala sesuatu hal yang kamu lakukan. Termasuk dalam meraih nilai-nilai yang baik di sekolah, walaupun, nilai bukan tolak ukur utama untuk kesuksesanmu tapi tetep aja harus diraih atas dasar kejujuran, semangat, kerja keras, dan doa. Ingat, Le, ALLAH ndak suka sama makhluk-Nya yang tidak jujur dan rezeki yang diusahakan atas kejujuran dan kerja keras itu barokahnya gedhe, Le! Ya sudah, tidur sana besok harus sekolah, kan?” Bapak mengatakan hal itu ketika bapak masih menyediakan waktu untuk sekedar minum the bersama seusai sholat Isya’, sekarang, beda lagi. Bapak lebih sering pulang larut malam dan kadang langsung tidur. Aku merasa ada yang hilang, walaupun, hadiah yang diberikan bapak makin hari makin banyak, tapi, tidakkah bapak tahu yang aku inginkan bukan sekedar hadiah? Tetapi kehadiran bapak?
Le, kok melamun?” sapa cak Ji seraya menepuk bahuku. Membuyarkan lamunanku.
Ndak kenapa-napa, cak. Lagi kangen sama bapak saja. Matur nuwun, cak, aku pamit dulu nanti kemalaman.” Kataku lesu, sambil membawa tasku aku beranjak dari warung cak Ji dan mulai mengayuh sepeda menembus malam untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, benar saja dugaanku, bapak belum pulang.

Rumahku, 27 Juli 2012

Senja sudah berlalu. Aku mengayuh sepedaku dan menembus malam untuk pulang ke rumah, seperti biasa. Namun, kali ini berbeda. Aku memilih makan malam dan menikmati masakan ibu. Perjalanan malam ini terasa amat panjang, aku mengingat-ingat, apakah aku lupa jalan menuju rumah? Entahlah, aku merasa tak enak. Ini dia, tikungan terakhir menuju rumah. Kali ini juga berbeda, tak biasanya rumahku ramai malam-malam begini. Beberapa mobil terparkir tak beraturan di depan pintu gerbang dan, tunggu? Apa itu? Wartawan? Ada apa ini? Mengapa ada wartawan juga di rumahku? Dan, mobil polisi? Astaga, ada apa ini? Pertanyaan tanpa jawab it uterus-menerus membanjiri otakku. Kumasuki halaman rumah dengan langkah ragu. Sedetik aku berpikir, mungkinkah aku salah memasuki rumah? Namun, sedetik kemudian pernyataan itu terbantahkan. Aku melihat ibu di sana dan ibu, menangis? Kujatuhkan sepedaku sejurus kemudian dan kuhampiri ibu.
“Ibu… ada apa?” tanyaku tak mengerti.
Ibu masih terdiam, “Ibu, mengapa ibu menangis? Bapak di mana, Bu?” tanyaku tak terbendung. Kini perasaan raguku berubah menjadi takut dan gelisah.
Dengan masih terisak ibu memelukku perlahan dan penuh kasih sayang, “Le, kamu yang sabar ya, nak. Bapak ada di dalam, bapak akan segera di tahan dengan tuduhan korupsi. Kamu jangan ninggalan ibu, ya, Le. Kita hanya bisa berdoa agar segala tuduhan yang diberikan kepada bapak itu ndak benar.” Kata ibu masih terisak. Aku tercekat. Aku tak tahu harus berbicara apa, bapak? Benarkah bapak melakukan hal kotor seperti itu? Tidak, aku tidak percaya. Aku harus menanyakannya pada bapak. Bapakku tidak seperti itu. Bapak keluar rumah beberapa menit kemudian dikawal dengan bebarapa orang berjaket hitam dan berseragam polisi. Bapak tak sanggup menatapku, dia terus menunduk, bisa kuketahui kacamatanya berembun. Aku beranjak dari dudukku, dan menghampiri mereka.
“Pak, izinkan saya dan ibu untuk melewatkan makan malam hari ini bersama bapak, izinkanlah pak. Saya mohon.” Kataku dengan nada memohon. Kulihat mereka berdiskusi sebentar, lalu, meng-iyakan permintaan kami. Aku, ibu, dan bapak memasuki rumah dan menuju ruang makan  tentu saja, diikuti dengan orang-orang yang ternyata dari kepolisian itu  , malam ini ibu memasak semur lidah kesukaanku dan bapak. Kenapa moment ini menjadi sangat kebetulan seperti ini. 

aku menatap bapak lekat-lekat, "Bapak, benarkah bapak melakukan hal-hal yang dituduhkan terhadap bapak?" tanyaku hambar. Aku tahu, bapak akan menjawabnya dengan jujur. Aku tahu, bapak tak akan mendustai kata-katanya malam itu, tentang kejujuran. Bapak hanya terdiam dan menunduk dalam. 

Bapak, aku tahu apa jawabannya dan, aku juga tak akan mendustai apa yang telah aku yakini sejak malam itu, Pak. Terimakasih, Pak, atas makan malam kita hari ini. Aku dan Ibu, tetap menjadikanmu imam di keluarga kecil kita. 

1 komentar:

miaw mpus mengatakan...

hai dah aku follow blognya jangan lupa follback yah blogku http://gado-gado-ajjah.blogspot.com/

Posting Komentar