Ini aku, sebut sajalah Aku.
Menikmati senyummu dengan diam-diam hampir setiap kali ada
kesempatan. Oh, dan kamu, sebut saja kamu itu Jingga. Jingga, begitulah aku
menyebutmu. Aku mungkin lancang telah berani merasakan hal ini setiap getaran yang kamu tularkan, setiap peluh yang mengembun atas lelahnya aku
menahan ketidaksopanan ini, setiap kenyamanan yang terpancar dari matamu,
Jingga , hal yang
tak sepantasnya.
"Matahari, tak usah khawatir. Ketika kamu jatuh, pastikan aku
kan menangkapmu. Tenanglah..." rayumu pada suatu sore. Bukan, bukan
merayuku tentu saja. Tapi, wanita itu, wanita yang aku sebut Matahari jika kalian mengenalnya, pasti
kalian tahu mengapa aku menyebutnya Matahari , seperti apa yang telah dia
pancarkan. Dahsyat.
Dan, aku? Tak lebih dari
gumpalan mendung di antara mereka, Matahari Jingga. Maaf.
Cerita tentang Langit
Kau, Jingga
dan Dia, Mataharinya
Jingga Matahari, Matahari Jingga
Kesatuan yang entah apa bisa berpisah
Seperti sebuah dialog
Kau, Dia, dan... Aku
Akulah pasti si mendung
Mendung dibalik Jingganya Matahari
Mengejar hari yang cerah
Dengan angan barang secercah
Atau berdiam dan menunggu
Atau berdiam dan menjadi si saksi bisu
Jingga Matahari,
Gradasi indah di langit senja
Berdua, kan berlabuh di cakrawala
Dan, aku, biarlah di sini temani hujan malam ini.
0 komentar:
Posting Komentar