Rinai hujan tak kunjung menunjukan gelagat kepergiannya. Bahkan Ia terlihat sangat senang menahanku di Café ini. Well, sudah hampir tiga jam Aku terpaku di sini, ditemani tugas-tugas kantor, beberapa gelas kopi dan dua piring kentang goreng. Entalah, tapi jujur saja… Aku lebih nyaman di Café ini daripada di rumah dan bertemu suamiku. Oh, ya aku tau pasti Kau mengira Aku ini sinting telah bersikap seperti ini pada suamiku. Aku memang sinting dibuatnya.
**
Enam bulan yang lalu… tepatnya diacara reuni SMA suamiku. Ia bertemu salah seorang mantan kekasihnya. Kau pasti mengira Aku juga seorang psikopat yang cemburu-an, terserah. Tapi mereka telah berkhianat padaku. Sungguh, ini menyakitkan sekali. Diam-diam mereka bertemu, tanpa sepengetahuanku. Mantan kekasih suamiku memang seorang janda, diceraikan suaminya sekitar dua tahun lalu. Pantas jika Ia dapat bebas berdekatan dengan siapapun. Dua bulan pertama, Aku belajar untuk memaklumi kedekatan mereka, belajar ikhlas, belajar tidak egois, dan belajar untuk memercayai suamiku. Namun lama-kelamaan, mereka sepertinya sengaja mempermainkan kepercayaanku. Aku tak dihargai lagi. Mereka terkadang dengan sengaja memamerkan kemesraan di depan ku. Aku benar-benar kehilangan suamiku. Aku kehilangan Imam disetiap sholatku. Aku kehilangan suami yang membimbingku. Aku kehilangan seorang Papa untuk anak-anak kami, kepala keluarga yang mengayomi. Kedua putriku kini kutitipkan di rumah Ibuku, nenek mereka. Aku tak tega akan tekanan mental yang mereka hadapi ketika melihat kedua orangtuanya tak harmonis lagi. Belum juga kini ada seorang “mama” lain di rumah mereka. Aku pun sudah jarang sekali pulang ke rumah, ini terlalu menyakitkan bagiku melihat lelaki yang kucintai bercumbu dengan mantan kekasihnya. Aku lebih memilih tinggal di apartemen dan menyibukan diri dengan tugas-tugas kantor.
**
Seseorang menepuk bahuku dan membangunkanku dari lamunan panjangku. “Kau kah itu Sinta?”, sapa seseorang itu. “Emmm… ya. Pernahkah kita bertemu sebelumnya, Ma’m?”, kataku dengan kikuk. Perempuan itu terkejut, “Oh!!! Kau benar-benar lupa padaku, Sin? Aku Rina, teman SMA mu sewaktu Kau dan Keluargamu tinggal di Medan.” Jelas perempuan itu singkat. Seketika itu pun Aku ingat. “Ya! Aku ingat sekarang! Maaf kan Aku, Rin. Aku benar-benar… ah entalah. Hidupku sangat berubah akhir-akhir ini. Aku sedang banyak masalah, jadi maaf tak dapat mengenalimu dengan cepat. Apalagi, Kau sekarang makin cantik.” Rina hanya tersenyum, tulus. Lalu Ia duduk di sampingku. Ya Tuhan… sebagaimana peliknya sih kehidupanku saat ini sampai dengan teman paling dekat pun Aku lupa. Kami saling berbagi cerita dan mengenang masa-masa lalu yang begitu indah. Aku tak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan suasana setelah kedatangan Rina. Kami memang begitu dekat sebelumnya. Dia salah satu teman terbaik ku. “Kau bilang tadi hidupmu akhir-akhir ini banyak dirundung masalah? Kalau tidak keberatan, Kau boleh membaginya denganku. Aku sungguh sangat bahagia apabila dapat meringankan beban teman terbaik ku. Walaupun nantinya Aku tidak menjamin bahwa Aku akan mampu membereskan masalahmu, tapi Aku berjanji akan menjadi pendengar yang baik untukmu.” Kata Rina, tulus. Aku takkan pernah ragu akan ketulusan Rina. Aku mengenalnya. Lalu Ku ceritakan semuanya, tentang rumah tanggaku yang sudah berada di ambang kehancuran itu.
Rina tersenyum simpul, “Kembalilah ke rumah, Sinta. Sekalipun suamimu tak lagi menunaikan kewajibannya, sebagai seorang istri kau masih berkewajiban untuk melayaninya. Dengan menghindari semua ini, tak lantas membuat mu lebih tenang dan bebanmu berkurang, bukan? Apa Kau tak kasihan dengan kedua buah hatimu? Begini, kalau memang tak ada yang dapat dipertahankan, kalau memang tak ada yang dapat kembali dari suamimu, beranilah mengambil keputusan untuk jalan keluar dari masalah ini. Cerai, memang bukan hal yang baik. Bukan jalan keluar yang terbaik. Tapi terkadang, jalan keluar yang tidak baik itulah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh. Daripada Kau gundah tanpa tau apa tujuanmu hidup? Daripada Kau tak melalukan kewajiban mu sebagai istri? Ingat Sinta, oranglain boleh mengecewakan kita, tapi bukan berarti kita harus melakukan hal yang sama kan? Aku hanya dapat berkata apa yang mungkin dapat Kau jadikan pertimbangan. Tapi, segala keputusan tetaplah di tanganmu. Ini rumah tanggamu, dan Kau salahsatu penumpangnya. Kau mempunyai hak atas kemanakah kapal ini akan dibawa berlayar.” Kata Rina dengan penuh ketenangan. Aku hanya tersenyum dan menangis. Tapi kini, Aku tau apa yang harus Aku lakukan, Aku tau apa keputusanku.
0 komentar:
Posting Komentar